Mungkin dalam lima tahun terakhir serasa agak sukar mencari pembantu rumah tangga. Dalam riwayat penjajahan di Indonesia, para Kompeni mengenal istilah Jongos, Baboe, Wassbaboe, Kokie, dan Nyai.. Nah pembokat yang berpangkat Nyai biasanya kepala rumah tangga, seorang perempuan lebih bersih, dan boleh masuk dan bermalam di ranjang Toean... Sukar nyari pembantu di dalam negeri, tapi orang Indonesia beramai-ramai jadi pembokat di negeri Jiran. Aneh memang, tapi sebagian kalau tidak ingin menyebut sebagian besar, bangsa kita ini lebih memiliki rasa GENGSI daripada rasa MALU.
Sebagian kita, mungkin sebagian kecil, tidak malu menjadi pembokat, tapi ia gengsi menjadi pembokat di negerinya sendiri. Di kampung dekat komplek perumahan saya, orang-orang kelas bawah di sana lebih senang menjadi pembokat di perumahan lain sekilo meter dari komplek saya, daripada di kompleks saya yang lebih dekat. Alasan sederhana, gengsi tampak jadi baboe oleh tetangganya sendiri.
Bila coba mengamati para pengemis di pertigaan jalan, maka sebagian besar mereka dikoordinasikan dari daerah lain. Di kampungnya mereka mengaku bekerja di pabrik di Bogor, Gunung Putri, atau Kawasan Industri Pulo Gadung, walaupun sebenarnya mereka mengemis dan mengamen di Jakarta dan sekitarnya. Di Bogor, sebuah keluarga keluar dari rumah setiap pagi buta dengan pakaian rapi dari rumahnya di Sindang Barang untuk mengemis di daerah Gadog yang jaraknya sekitar 14 Km. Jadi sebagian bangsa kita ini, mungkin sebagian kecil, lebih Gengsi daripada Malu. Tidak malu mengemis, tapi gengsi kalau ketahuan teman atau kerabatnya mengemis.
Beberapa waktu lalu, saat aku masih terbiasa dengan kehidupan malam di berbagai kota, aku sering iseng bertanya pada perempuan mitra malam. Saat berada di tempat hiburan malam di kota Banjarmasin dan Pontianak, para perempuan mitra banyak yang berbahasa daerah dari Pulau Jawa (dengan hormat tidak menyebut sukunya). Tapi saat aku di Bandung, aku ngobrol dengan perempuan dari Pulau Sumatera. Saat di Denpasar pasokan perempuan mitra dari Pulau Jawa. Jadi bagi sang petualang malam, jangan pernah berharap dapat mitra dari daerah setempat. Jadi perempuan mitra malam tidak malu, tetapi gengsi apabila diketahui oleh keluarga dan kerabat di daerah.
Orang korupsi mengambil bukan haknya semata karena gengsi memiliki fasilitas murah, misal rumah murah, mobil murah, tapi justru senang perempuan murahan (istilah perempuan murahan hanya keluar dari mulut perempuan lain saingan perempuan itu, tidak pernah keluar dari mulut lelaki, mungkin karena kaum lelaki memang menghargai sama berharganya semua perempuan). Orang korupsi tidak pernah tampak malu diadili, tapi gengsi kalau tampak miskin saat pensiun jadi pegawai. Bahkan tidak sedikit yang membagi-bagi harta kepada orang miskin dengan publikasi besar-besaran tapi tidak malu menggunakan harta bukan miliknya, malah mungkin memang hak orang-orang miskin itu sendiri....he..he..
Mungkin ini hanya pendapat saya saja, tapi memang saya merasakan bahwa sebagian bangsa ini (mungkin bukan sebagian besar), tidak peduli lagi dengan budaya MALU tetapi justru mengangungkan GENGSI. Umumnya orang lebih rela berBOHONG karena gengsi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar